Sejarah kelahiran Buku
Buku
pada awalnya hanya berupa tanah liat yang dibakar, mirip dengan proses
pembuatan batu bata di masa kini. Buku tersebut digunakan oleh penduduk
yang mendiami pinggir Sungai Euphrates di Asia Kecil sekitar tahun 2000
SM.
Penduduk
sungai Nil, memanfaatkan batang papirus yang banyak tumbuh di pesisir
Laut Tengah dan di sisi sungai Nil untuk membuat buku.Gulungan batang
papirus inilah yang melatarbelakangi adanya gagasan kertas gulungan
seperti yang kita kenal sekarang ini. Orang Romawi juga menggunakan
model gulungan dengan kulit domba. Model dengan kulit domba ini disebut
parchment(perkamen).
Bentuk buku berupa gulungan ini masih dipakai
hingga sekitar tahun 300 Masehi. Kemudian bentuk buku berubah menjadi
lenbar-lembar yang disatukan dengan sistem jahit. Model ini disebut
codex, yang merupakan cikal bakal lahirnya buku modern seperti sekarang
ini.
Pada
tahun 105 Masehi, Ts’ai Lun, seorang Cina di Tiongkok telah menciptakan
kertas dari bahan serat yang disebut hennep. Serat ini ditumbuk,
kemudian dicampur dan diaduk dengan air hingga menjadi bubur. Setelah
dimasukkan ke dalam cetakan, buku di jemur hingga mengering. Setelah
mengering, bubur berubah menjadi kertas.
Pada tahun 751,
pembuatan kertas telah menyebar hingga ke Samarkand, Asia tenganh,
dimana beberapa pembuat kertas bangsa Cina diambil sebagai tawanan oleh
bangsa Arab. Bangsa Arab, setelah kembali ke negrinya, memperkenalkan
kerajinan pembuatan kertas ini kepada bangsa Morris di Spanyol. Tahun
1150, dari Spanyol, kerajinan ini menyebar ke Eropa. Pabrik kertas
pertama di Eropa dibangun di Perancis, tahun 1189, lalu di Fabriano,
Italia tahun 1276 dan di Jerman tahun 1391. Berkat ditemukannya
pembuatan kertas inilah maka pembuatan buku di beberapa belahan dunia
semakin berkembang.
Sejarah Penerbitan Buku di Indonesia
Di Indonesia, awalnya bentuk buku masih berupa gulungan daun lontar. Menurut
Ajib
Rosidi (sastrawan dan mantan ketua IKAPI), secara garis besar, usaha
penerbitan buku di Indonesia dibagi dalam tiga jalur, yaitu usaha
penerbitan buku pelajaran, usaha penerbitan buku bacaan umum (termasuk
sastra dan hiburan), dan usaha penerbitan buku agama.
Pada
masa penjajahan Belanda, penulisan dan penerbitan buku sekolah dikuasai
orang Belanda. Kalaupun ada orang pribumi yang menulis buku pelajaran,
umumnya mereka hanya sebagai pembantu atau ditunjuk oleh orang Belanda.
Usaha
penerbitan buku agama dimulai dengan penerbitan buku-buku agama Islam
yang dilakukan orang Arab, sedangkan penerbitan buku –buku agama Kristen
umumnya dilakukan oleh orang-orang Belanda.
Penerbitan buku
bacaan umum berbahasa Melayu pada masa itu dikuasai oleh orang-orang
Cina. Orang pribumi hanya bergerak dalam usaha penerbitan buku berbahasa
daerah. Usaha penerbitan buku bacaaan yang murni dilakukan oleh
pribumi, yaitu mulai dari penulisan hingga penerbitannya, hanya
dilakukan oleh orang-orang Sumatera Barat dan Medan. Karena khawatir
dengan perkembangan usaha penerbitan tersebut, pemerintah Belanda lalu
mendirikan penerbit Buku Bacaan Rakyat. Tujuannya untuk mengimbangi
usaha penerbitan yang dilakukan kaum pribumi. Pada tahun 1908, penerbit
ini diubah namanya menjadi Balai Pustaka. Hingga jepang masuk ke
Indonesia, Balai Pustaka belum pernah menerbitkan buku pelajaran karena
bidang ini dikuasai penerbit swasta belanda.
Sekitar tahun
1950-an, penerbit swasta nasional mulai bermunculan. Sebagian besar
berada di pulau Jawa dan selebihnya di Sumatera. Pada awalnya, mereka
bermotif politis dan idealis. Mereka ingin mengambil alih dominasi para
penerbit Belanda yang setelah penyerahan kedaulatan di tahun 1950 masih
diijinkan berusaha di Indonesia.
Pada tahun 1955, pemerintah
Republik Indonesia mengambil alih dan menasionalisasi semua perusahaan
Belanda di Indonesia. Kemudian pemerintah berusaha mendorong pertumbuhan
dan perkembangan usaha penerbitan buku nasional dengan jalan memberi
subsidi dan bahan baku kertas bagi para penerbit buku nasional sehingga
penerbit diwajibkan menjual buku-bukunya denga harga murah.
Pemerintah
kemudian mendirikan Yayasan Lektur yang bertugas mengatur bantuan
pemerintah kepada penerbit dan mengendalikan harga buku. Dengan adanya
yayasan ini, pertumbuhan dan perkembangan penerbitan nasional dapat
meningkat denganc epat. Menurut Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI) yang
didirikan 1950, penerbit yang menjadi anggota IKAPI yang semula
berjumlah 13 pada tahun 1965 naik menjadi 600-an lebih.
Pada
tahun 1965 terjadi perubahan situasi politik di tanah air. Salah satu
akibat dari perubahan itu adalah keluarnya kebijakan baru pemerintah
dalam bidang politik, ekonomi dan moneter. Sejak akhir tahun 1965,
subsidi bagi penerbit dihapus. Akibatnya, karena hanya 25% penerbit yang
bertahan, situasi perbukuan mengalami kemunduran.
Sementara itu,
pemerintah melalui Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mashuri, kemudian
menetapkan bahwa semua buku pelajaran di sediakan kan oleh pemerintah.
Keadaan tidak bisa terus-menerus dipertahankan karena buku pelajaran
yang meningkat dari tahun ke tahun. Karena itu, diberikan hak pada Balai
Pustaka untuk mencetak buku-buku yang dibutuhkan dipasaran bebas. Para
penerbit swasta diberikan kesempatan menerbitkan buku-buku pelengkap
dengan persetujuan tim penilai.
Hal lain yang menonjol dalam
masalah perbukuan selama Orde Baru adalah penerbitan buku yang harus
melalui sensor dan persetujuan kejaksaan agung. Tercatat buku-buku karya
Pramudya Ananta Toer, Utuj Tatang Sontani dan beberapa pengarang
lainnya, tidak dapat dipasarkan karena mereka dinyatakan terlibat
G30S/PKI. Sementara buku-buku “Siapa Menabur Angin Akan Menuai Badai”,
kemudian “Era Baru, Pemimpin Baru” tidak bisa dipasarkan karena dianggap
menyesatkan, terutama mengenai cerita-cerita seputar pergantian
kekuasaan pada tahun 1966.
Sumber : http://hsutadi.blogspot.co.id/2009/03/sejarah-kelahiran-buku-dan.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar